referal

Baca Qur'an

Monday, December 6, 2010

Dzikir untuk Atasi Masalah Rumah-Tangga

Berikut ini adalah kutipan naskah buku M Shodiq Mustika, Dzikir Cinta Islami, Bab 20, “Atasi Masalah Rumah-Tangga”. Isinya: cara dzikir [1] supaya suami bertanggung jawab, [2] supaya nafkah lahir-batin memuaskan, [3] supaya tidak kewalahan mengurusi rumah-tangga.
20
Atasi Masalah Rumah-Tangga
Saya ibu rumah tangga biasa dengan 3 anak. Sudah menikah 15 tahun dan sampai sekarang belum mendapat pekerjaan, meski lulusan sarjana pendidikan. Beda umur kami besar (suami 50 tahun, saya 35 tahun). Dulu saya memilih dia dengan harapan dapat hidup damai, sekarang saya rasakan seperti dalam neraka. Ada beberapa persoalan pokok yang saya hadapi.
  • 1. Ketat. Dia hanya memberikan separo dari gajinya pada saya. (Dia dosen golongan IIID). Jika memberikan, sudah dengan rincian tetek bengek, yang hanya pas untuk makan dan keperluan anak. Kalau ada keperluan lain, saya harus mengemis. Status saya seperti PRT saja.
  • 2. Ketidakpercayaan suami. Selalu dimulai dengan keuangan. Kalau ada yang harus dibeli di luar rencana, harus dicatat, misalnya ember pecah.
  • 3. Hubungan pasutri. Sebab jiwa saya tertekan, otomatis saya jadi malas dalam urusan ranjang. Kalau sudah begitu, voltasenya naik tinggi; ia jadi cepat tersinggung, lalu marah-marah.
Yang saya takutkan, saya jadi kurang cinta padanya, sebab banyaknya pertengkaran. Kekurangan biaya sehari-hari, selalu menjadi biang pertengkaran. Tolong jawab surat saya ini sebab banyak teman-teman saya menghadapi soal sama.
–Ny. D di Jabar
Nyonya D di Jabar, dengan senang hati saya jawab persoalan Anda, yang saya kaitkan dengan topik dzikir. Kalau Anda takut “jadi kurang cinta padanya”, silakan simak uraian kami di Bab 13, terutama sub-bab “Supaya Hubungan Cinta Tidak Retak” dan “Supaya Hubungan Cinta Tidak Putus”. Bila Anda mengkhawatirkan pertengkaran, silakan baca Bab 12, “Atasi Masalah Pertikaian”.
Nyonya D mengemukakan persoalan “ketat”, “ketidakpercayaan suami”, dan “hubungan pasutri”. Dari masalah tersebut, perkenankanlah saya merumuskan kebutuhan Anda: [1] supaya suami bertanggung jawab; [2] supaya nafkah lahir-batin memuaskan; dan [3] supaya tidak kewalahan mengurusi rumah-tangga.

Supaya Suami Bertanggung Jawab

Saya turut menyayangkan apabila seorang suami suka menahan sebagian (atau bahkan seluruh) penghasilannya, sehingga istrinya sering terpaksa “mengemis” kepadanya. Saya khawatir, sikap tersebut pertanda bahwa sang suami kurang melindungi istri dan kurang bertanggung jawab. Bolehjadi, itu terjadi karena sang suami terlalu meninggikan diri atau mengagungkan diri di hadapan si istri.
Padahal, “Para laki-laki adalah pelindung dan penanggung jawab para perempuan, karena Allah telah memberikan kelebihan pada yang satu atas yang lain dan karena mereka memberi nafkah dari harta mereka. … Sungguh Allah Mahatinggi, Mahaagung.” (QS an-Nisaa’ [4]: 34)
Dari ayat ini, dapatlah kita petik kalimat dzikir supaya sang suami tidak lagi terlalu tinggi hati dalam memberi nafkah kepada istri. Anda tahu kalimat yang saya maksud, bukan? Ya, silakan ucapkan kalimat dzikir:

Innallâha kâna ‘aliyyan kabîrâ.
(Sungguh Allah Mahatinggi, Mahaagung.)
(QS an-Nisaa’ [4]: 34)
Dengan dzikir tersebut, insya’Allah sang suami tidak lagi tinggi hati dalam memberi nafkah kepada si istri. Walhasil, sang suami menjadi lebih bertanggung jawab dan lebih melindungi si istri dalam mengurus rumah-tangga.
Sementara itu, istri pun harus bertanggung jawab. Ia mesti membelanjakan nafkah dari suami itu secara cermat. Ia tidak boleh ceroboh atau pun menghabiskan uang dengan seenaknya sendiri. Kalau si istri sendiri tidak bertanggung jawab, akankah Allah memenuhi harapannya agar suami bertanggung jawab?

Supaya Nafkah Lahir-Batin Memuaskan

Allah SWT berfirman, “Kamu boleh menangguhkan [penggiliran] siapa saja di antara mereka (isteri-isterimu) yang kau kehendaki, dan menerima siapa saja yang kau kehendaki; dan tiada salahnya bila kau mengundang yang [gilirannya] kau sisihkan. Ini lebih baik untuk memuaskan mereka dan tidak membuat mereka sedih, dan mereka akan merasa senang dengan segala [nafkah] yang kau berikan kepada mereka. Dan Allah mengetahui segala yang ada dalam hatimu. Dan adalah Allah Mahatahu, Maha Penyantun.” (QS al-Ahzab [33]: 51)
Dari ayat tersebut, kita pahami bahwa Islam meminta para suami untuk berusaha memuaskan istri masing-masing, baik lahiriah maupun batiniah. Allah Mengetahui seberapa besar upaya suami memuaskan istri; Dia jugalah yang Menyantuni suami, sehingga mampu memuaskan istri. Karenanya, supaya nafkah lahir-batin memuaskan, silakan ucapkan dzikir:

Wa kânallâhu ‘alîman halîmâ.
(Dan adalah Allah Mahatahu, Maha Penyantun.)
(QS al-Ahzab [33]: 51)
Saya merasa turut bersedih bila para istri diperlakukan bagai PRT (pembantu rumah tangga) atau bahkan seperti budak. Bila penghasilan suami dibagi dua, sebagian diserahkan kepada istri untuk urusan rumahtangga, sebagian lainnya masuk kantong suami, maka ini kurang mencerminkan sifat penyantun pada diri suami. Padahal, bukankah berkat rezeki dari Sang Maha Penyantunlah maka para suami itu mampu memberi nafkah kepada istri?
Menurut hukum Islam yang diberlakukan di negara kita, seandainya terjadi perceraian (baik cerai-hidup maupun cerai-mati), maka penghasilan yang diperoleh selama pernikahan itu dibagi rata antara suami dan istri. Masing-masing setengah bagian. Istilahnya, “gono-gini”. Tidak peduli bahwa yang bekerja mencari uang itu suami saja, sedangkan istri “hanya” menjadi ibu rumahtangga. (Begitu pula sebaliknya.)
Memang, bila belum terjadi perceraian, istri tidak bisa menuntut “gono-gini”. Namun, saya berkeyakinan bahwa penghasilan suami (begitu pula penghasilan istri) merupakan milik bersama antara suami-istri walaupun tidak terjadi perceraian. Karenanya, seluruh penghasilan saya saya serahkan kepada istri saya untuk memenuhi semua keperluan rumah tangga kami. Saya dan anak-anak kamilah yang meminta uang kepadanya bila memerlukannya. Namun biasanya, dia sudah memberi kami sebelum kami memintanya. (Kepada anak-anak, sudah kami terangkan bahwa uang ayah dan ibu merupakan milik kami berdua.) Begitulah jalan yang kami tempuh lantaran yakin bahwa Allah Mahatahu dan Maha Penyantun!

Supaya Tidak Kewalahan Mengurusi Rumah-Tangga

Diceritakan bahwa Fathimah r.a. datang ke rumah Rasulullah saw. untuk mengadukan perihal tangannya yang sakit karena menggiling tepung. Ia hendak meminta seorang pelayan untuk membantunya, namun dia tidak mendapatkan beliau berada di rumah. Maka ia pun menceritakan hal itu kepada ‘Aisyah r.a. Ketika Rasulullah saw. datang, ‘Aisyah menyampaikan hal itu kepada beliau.
Ali r.a. (suami Fathimah) yang menceritakan hadits ini bertutur: “Rasulullah mendatangi kami, sedangkan kami sudah naik ke atas ranjang untuk tidur. Mendengar kedatangan beliau, kami pun bangkit. Namun beliau berkata, ‘Tetaplah di tempat kalian.’ Beliau lalu menghampiri kami dan duduk di antara kami hingga aku merasakan kesejukan kedua kaki beliau menyentuh perutku. Lalu beliau bersabda:
‘Maukah kalian aku tunjuki sesuatu yang lebih baik daripada pelayan? [Yaitu] jika kalian berdua kembali ke tempat tidur, kalian membaca tasbih (subhânallâh, “Mahasuci Allah”) 33 kali, membaca tahmid (alhamdu lillâh, “segala puji bagi Allah”) 33 kali, dan membaca takbir (allâhu akbar, “Allah Mahabesar”) 33 kali’.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad)
Mengikuti petunjuk beliau, mereka berdua pun mengerjakannya pada setiap malam. Akhirnya, mereka tak lagi membutuhkan pelayan.
Mengapa mereka tak lagi kewalahan mengurusi rumah tangga setelah bertasbih, bertahmid, dan bertakbir (masing-masing 33 kali) pada setiap malam? Kita dapat memahaminya begini:
Bertasbih dan bertahmid itu pertanda syukur. Dengan bersyukur, bertambahlah kenikmatan yang dianugerahkan oleh Allah. (Lihat Bab 2, sub-bab “Supaya Lebih Nikmat”.) Sementara itu, takbir merupakan pengagungan terhadap Tuhan. Sikap ini selaras dengan dzikir “sungguh Allah Mahatinggi, Mahaagung” dalam rangka “supaya suami bertanggung jawab”, sebagaimana yang sudah kita simak di atas.
Nah! Dengan kedua suami-istri merasa lebih nikmat, sedangkan suami lebih bertanggung jawab dalam mengurusi rumah tangga bersama-sama dengan istri, wajarlah bila keduanya menjadi tidak kewalahan lagi, bukan?

artikel :